27 September 2016

TDAK HARUS SETUJU

Biasanya Badrun kasih kabar dulu kalau mau ketemu, tapi kemarin makbedunduk udah nongol bikin bunyi-bunyian dipager rumah. “Assalamu’alaikum…spadaa..” suaranya yang serak-serak sember berulang. Setelah membalas salam saya bukain pintu buat kucing..eh Badrun. Dia langsung ndelosoh di kursi yang agak kegedean buat badannya yang cungkring.

Badrun mulai ngomong yang awalnya gak jelas. Dia emang gitu, kayak mesin diesel. Cara ngomongnya..pelan-pelan adem terus mulai anget…lalu panas meletup-letup. Dia kayaknya gak terima saya pasang foto Anies Baswedan sebagai profil di Whatsapp. “Elo gak salah Rip? Jadi relawan Anies sampe pasang fotonya?”. “Kenapa Emang?” jawab saya woles. “Masalah buat Elo?” sambil nyengir saya lanjutin. Badrun mendadak melotot matanya. Saya kira dia marah, eh gak taunya melotot mandangin pisang goreng yang jadi temen teh manis anget di meja. Badrun emang lebih suka teh daripada kopi.

Lalu mulailah dia nyerocos, nyebutin satu persatu kelakuan pendukung Anies-Sandi. Dia nyebutin mulai dari tukang fitnah yang nyambi jualan sepre,emak-emak nyinyir yang wajahnya sering nongol di demo-demo gak jelas, sampai mantan pahlawan reformasi yang mulai pikun .. kata kampret gak tau berapa kali disebut saking banyaknya. Saya manggut-manggut kayak Tuanku Imam Bonjol. Badrun mulai sewot, buktinya tangannya gak brenti nyomotin pisang goreng. Saya biarin aja. Kebiasaan dia kalo udah mulai hilang lapernya, Badrun akan normal sendiri.

Badrun emang otaknya encer, tapi kelemahannya kadang dia pelupa. Dia lupa jaman pilkada DKI yang Jokowi-Ahok melawan Foke. Dia yang jadi saksi waktu saya ngomong langsung ke Jokowi saat kampanye ke Cipinang. “Pak Jokowi saya tidak dukung Bapak sebagai Cagub..karena saya pikir Bapak lebih cocok jadi Calon Presiden.” Jokowi dan rombongan ketawa waktu itu. Badrun langsung nyamber minta foto bareng dan dipajang sampai hari ini di ruang tamu rumahnya.

Badrun juga yang paling tahu kalo saya selalu tidak memilih calon anggota legislatif dari pemilu ke pemilu. Badrun paham saya demen dengerin radio Rodja, ngikutin kajian ustadz-ustadz Salafi dan baca buku-buku karya mereka. Badrun yang paling paham kalo saya menjauhi parpol setelah ngikutin kajian-kajian Salaf, padahal saya pernah jadi Sekum DPC dan pengurus DPD partai politik berlambang matahari di masa tumbangnya rejim otoriter. Dia juga orang pertama yang dengar kalimat dari mulut saya “Dalam Politik, Idealisme hanya berlaku bagi pemula dan penggembira!”.

Badrun gantian manggut-manggut waktu saya balikin ingatan dia yang kabur. “..Oh jadi sekarang elo sama seperti dulu..milih orangnya bukan partainya?. Milih Anies bukan kampret-kampretnya? Saya gak perlu mengangguk untuk kasih jawaban, karena dia langsung nyeruput teh manis anget dan pisang goreng terakhirnya lalu pamitan pulang. Badrun emang gitu. Selalu begitu. Sudah makan pulang.

18 Agustus 2016

Sudah Adilkah aku?

Keadilan, sebuah kata yang maknanya sangat luas. Banyak orang bersepakat dan bahkan menggunakan kata itu untuk sebuah perjuangan. Pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak untuk melihat Keadilan dari hal-hal kecil saja. Gak usah yang berat-berat. Bagaimana keadilan dilakukan jika masih ada pemilihan kepada siapa suatu hal harus atau tidak dilakukan. Memilih siapa yang harus dan siapa yang tidak boleh pasti ada alasan subyektif. Misalnya begini, perlakuan seorang pramuniaga kepada customer yang datang seringkali diiringi dengan alasan subyektif. Customer yang kelihatan perlente, memakai pakaian bagus dengan membawa gadget merk ternama seringkali mendapat perlakuan lebih daripada seorang yang memakai pakaian lusuh dan gak meyakinkan.

Perlakuan seperti ini juga bisa menghinggapi pimpinan-pimpinan di kantor. Saya pernah menemukan model orang yang “silau” dengan kondisi materi bawahannya. Pimpinan itu merasa bersalah jika tidak memberikan posisi atau pendapatan yang sepadan dengan bawahannya itu. Apalagi jika dibarengi kepentingan pribadi misalkan sibawahan cantik, semlohay dan tajir orang tuanya. Atau alasan SARA.. misalnya satu ras dan agama. Penilaian berdasar alasan-alasan subyektif ini yang sering berbenturan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Dalam dunia pendidikan juga ada hal seperti itu. Lihat saja bagaimana Ujian Nasional dilakukan dengan tujuan mengukur tingkat mutu siswa. Bagaimana bisa dipahami jika buah apel disandingkan dengan buah mengkudu. Anak-anak orang mapan yang dibekali dengan les-les tambahan ini dan itu. Dengan asupan gizi yang lebih bagus. Dengan fasilitas dirumah yang lebih komplit lalu disandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang kurang beruntung secara finansial. Memang betul ada dari mereka yang juga menunjukkan keberhasilan secara akademis. Tapi pertanyaannya; berapa persen?.

Keadilan juga bisa dijelaskan sederhana. Bagaimana perlakuanmu kepada sahabat-sahabatmu? Atas dasar apa kamu menghargai dan menghormati mereka. Sikap permisif diberikan kepada siapa? Atau bagaimana perasaanmu jika melihat ada yang membully temanmu yang tidak punya daya elak? Itu dulu deh..Saya gak mau lanjutin tema Keadilan ini yang berkaitan dengan Poligami. Hehehe…bisa runyam dan panjang nanti.