27 September 2016

TDAK HARUS SETUJU

Biasanya Badrun kasih kabar dulu kalau mau ketemu, tapi kemarin makbedunduk udah nongol bikin bunyi-bunyian dipager rumah. “Assalamu’alaikum…spadaa..” suaranya yang serak-serak sember berulang. Setelah membalas salam saya bukain pintu buat kucing..eh Badrun. Dia langsung ndelosoh di kursi yang agak kegedean buat badannya yang cungkring.

Badrun mulai ngomong yang awalnya gak jelas. Dia emang gitu, kayak mesin diesel. Cara ngomongnya..pelan-pelan adem terus mulai anget…lalu panas meletup-letup. Dia kayaknya gak terima saya pasang foto Anies Baswedan sebagai profil di Whatsapp. “Elo gak salah Rip? Jadi relawan Anies sampe pasang fotonya?”. “Kenapa Emang?” jawab saya woles. “Masalah buat Elo?” sambil nyengir saya lanjutin. Badrun mendadak melotot matanya. Saya kira dia marah, eh gak taunya melotot mandangin pisang goreng yang jadi temen teh manis anget di meja. Badrun emang lebih suka teh daripada kopi.

Lalu mulailah dia nyerocos, nyebutin satu persatu kelakuan pendukung Anies-Sandi. Dia nyebutin mulai dari tukang fitnah yang nyambi jualan sepre,emak-emak nyinyir yang wajahnya sering nongol di demo-demo gak jelas, sampai mantan pahlawan reformasi yang mulai pikun .. kata kampret gak tau berapa kali disebut saking banyaknya. Saya manggut-manggut kayak Tuanku Imam Bonjol. Badrun mulai sewot, buktinya tangannya gak brenti nyomotin pisang goreng. Saya biarin aja. Kebiasaan dia kalo udah mulai hilang lapernya, Badrun akan normal sendiri.

Badrun emang otaknya encer, tapi kelemahannya kadang dia pelupa. Dia lupa jaman pilkada DKI yang Jokowi-Ahok melawan Foke. Dia yang jadi saksi waktu saya ngomong langsung ke Jokowi saat kampanye ke Cipinang. “Pak Jokowi saya tidak dukung Bapak sebagai Cagub..karena saya pikir Bapak lebih cocok jadi Calon Presiden.” Jokowi dan rombongan ketawa waktu itu. Badrun langsung nyamber minta foto bareng dan dipajang sampai hari ini di ruang tamu rumahnya.

Badrun juga yang paling tahu kalo saya selalu tidak memilih calon anggota legislatif dari pemilu ke pemilu. Badrun paham saya demen dengerin radio Rodja, ngikutin kajian ustadz-ustadz Salafi dan baca buku-buku karya mereka. Badrun yang paling paham kalo saya menjauhi parpol setelah ngikutin kajian-kajian Salaf, padahal saya pernah jadi Sekum DPC dan pengurus DPD partai politik berlambang matahari di masa tumbangnya rejim otoriter. Dia juga orang pertama yang dengar kalimat dari mulut saya “Dalam Politik, Idealisme hanya berlaku bagi pemula dan penggembira!”.

Badrun gantian manggut-manggut waktu saya balikin ingatan dia yang kabur. “..Oh jadi sekarang elo sama seperti dulu..milih orangnya bukan partainya?. Milih Anies bukan kampret-kampretnya? Saya gak perlu mengangguk untuk kasih jawaban, karena dia langsung nyeruput teh manis anget dan pisang goreng terakhirnya lalu pamitan pulang. Badrun emang gitu. Selalu begitu. Sudah makan pulang.

18 Agustus 2016

Sudah Adilkah aku?

Keadilan, sebuah kata yang maknanya sangat luas. Banyak orang bersepakat dan bahkan menggunakan kata itu untuk sebuah perjuangan. Pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak untuk melihat Keadilan dari hal-hal kecil saja. Gak usah yang berat-berat. Bagaimana keadilan dilakukan jika masih ada pemilihan kepada siapa suatu hal harus atau tidak dilakukan. Memilih siapa yang harus dan siapa yang tidak boleh pasti ada alasan subyektif. Misalnya begini, perlakuan seorang pramuniaga kepada customer yang datang seringkali diiringi dengan alasan subyektif. Customer yang kelihatan perlente, memakai pakaian bagus dengan membawa gadget merk ternama seringkali mendapat perlakuan lebih daripada seorang yang memakai pakaian lusuh dan gak meyakinkan.

Perlakuan seperti ini juga bisa menghinggapi pimpinan-pimpinan di kantor. Saya pernah menemukan model orang yang “silau” dengan kondisi materi bawahannya. Pimpinan itu merasa bersalah jika tidak memberikan posisi atau pendapatan yang sepadan dengan bawahannya itu. Apalagi jika dibarengi kepentingan pribadi misalkan sibawahan cantik, semlohay dan tajir orang tuanya. Atau alasan SARA.. misalnya satu ras dan agama. Penilaian berdasar alasan-alasan subyektif ini yang sering berbenturan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Dalam dunia pendidikan juga ada hal seperti itu. Lihat saja bagaimana Ujian Nasional dilakukan dengan tujuan mengukur tingkat mutu siswa. Bagaimana bisa dipahami jika buah apel disandingkan dengan buah mengkudu. Anak-anak orang mapan yang dibekali dengan les-les tambahan ini dan itu. Dengan asupan gizi yang lebih bagus. Dengan fasilitas dirumah yang lebih komplit lalu disandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang kurang beruntung secara finansial. Memang betul ada dari mereka yang juga menunjukkan keberhasilan secara akademis. Tapi pertanyaannya; berapa persen?.

Keadilan juga bisa dijelaskan sederhana. Bagaimana perlakuanmu kepada sahabat-sahabatmu? Atas dasar apa kamu menghargai dan menghormati mereka. Sikap permisif diberikan kepada siapa? Atau bagaimana perasaanmu jika melihat ada yang membully temanmu yang tidak punya daya elak? Itu dulu deh..Saya gak mau lanjutin tema Keadilan ini yang berkaitan dengan Poligami. Hehehe…bisa runyam dan panjang nanti.

06 Agustus 2016

NYOLOT

“Attitude is a little thing that makes a big difference.” ― Winston S. Churchill

Pernah gak Anda menemui seseorang yang suka Nyolot? Apa sih nyolot? Nyolot menurut Yahoo umumnya digunakan oleh orang yang berbahasa betawi. "Nyolot" adalah expresi yang ditunjukan seseorang pada waktu menyampaikan kehendak atau argumentasinya secara emosi dan memaksa kepada lawan bicaranya. Ekspresi ditunjukan dengan mimik muka yang tegang, urat leher menonjol serta mata yg melotot. "Nyolot" ini muncul sebagai reaksi atas penolakan atau ketidak setujuan lawan bicara atas pendapat atau argumentasi yg disampaikan oleh orang yang nyolot tersebut.

Jika sebelumnya saya membahas mengenai Baper yang biasanya menghinggapi orang-orang berkepribadian melankolis, maka kali ini kita bicara tentang karakter Nyolot. Nyolot biasanya dimiliki orang-orang dengan kepribadian Koleris. Ini adalah lawan dari karakter Melankolis. Kelebihan orang tipe koleris biasanya berani, sistematis, mempunyai strategi dan berani mengambil resiko. Dia juga mandiri dan sangat rasional.

Dikehidupan sehari-hari ada orang-orang yang senangnya berkonfrontasi. Misalnya begini, ketika salah satu dari teman, misalnya si A mengatakan sesuatu. si B mengomentari dengan ..”oh gitu ya? Bla bla bla”. Tapi si Nyolot biasanya gak akan langsung setuju. Si Nyolot akan berupaya sekuat tenaga untuk mematahkan pendapat Si A, misalnya dengan begini; …”ah salah itu.” Atau “Jangan kayak gitu” atau kalimat-kalimat penolakan lainnya.

Dalam pergaulan, mungkin tidak ada yang berani memberi tahu kalau sifat ini bikin tidak enak. Apalagi si Nyolot biasanya juga gampang marah kalau diberi nasihat dan mudah esmosi. Si Nyolot selalu menganggap dirinyalah yang betul dan orang lain salah. Akhirnya daripada bikin suasana gak enak orang disekelilingnya biasanya mengalah dengan cara diam. Si Nyolot juga sering bersikap defensive. Berprasangka buruk pada orang lain dan sangat anti disalahkan. Dia akan melakukan apa saja untuk mengatakan bahwa sikapnya adalah benar. So jika kamu merasa diri kamu suka nyolot ada solusinya nih :

1. Seringlah beristigfar. Dengan beristigfar kita akan selalu diingatkan bahwa sifat nyolot itu tidak bagus dan gak nguntungin.

2. Seringlah tersenyum. Ketika bibir tersenyum saraf-saraf dikepala kita akan mengendur dan sangat sulit dan tidak singkron jika kita tersenyum sambil nyolot.

3. Seringlah membaca. Dengan banyak membaca wawasan Anda akan lebih luas, sampai secara tak sengaja akhirnya menemukan tulisan-tulisan seperti ini…hehehe

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa Nyolot bukanlah Kutukan! Kita punya kendali sepenuhnya atas apa yang akan kita lakukan...

27 Juli 2016

BAPER

“As long as you look for someone else to validate who you are by seeking their approval, you are setting yourself up for disaster. You have to be whole and complete in yourself. No one can give you that. You have to know who you are - what others say is irrelevant. ― Nic Sheff.

Baper menurut Kitab Gaul berarti Bawa Perasaan yaitu semacam perasaan yang datang secara tidak sengaja dan bila dilanjutkan bisa menimbulkan komplikasi berkelanjutan. Misalnya aja di sebuah percakapan kadang tercetus omongan seperti ini. “ah lu mah baperan sich”…atau “yaelah gitu aja baper, liat kucing aja langsung inget mantan”, atau mau yang lebih drama… “emang kadang kenangan yang bikin sedih tapi itu kenyataan. Kenyataan kalo kamu lebih bahagia sama dia daripada sama aku ..hiks”.

Baper biasanya menghinggapi orang-orang yang berkepribadian Melankolis. Si melankolis ini mempunyai rasa empati yang tinggi, tak jarang kalau ada temen yang ada masalah dialah orang pertama yang merasakannya. Dia adalah pendengar yang baik. selain berempati, melankolis juga romantis banget, dan biasanya jago banget bikin puisi.Kelebihan si Baper Melankolis selain sangat serius, analitis, mau mengorbankan diri dan idealis dia juga mau mendengar keluhan, setia dan mengabdi. Oh iya dia juga pelit eh hemat maksudnya. Punya standard tinggi dan perfeksionis. Mantep nih kalo dijadiin karyawan.. Hehehe..

Secara pribadi sebenernya saya kurang setuju dengan penggolongan kepribadian yang ada diliteratur-literatur ilmu psikologi. Bukan apa-apa karena kenyataannya sifat manusia itu dinamis. Gak statis disuatu kelompok dari awal sampai akhir. Diperjalanannya pasti ada pengaruh sifat-sifat lain. Jadi gak bisa seseorang misalnya punya kepribadian Plegmatis, Melankolis, Sanguinis, atau Koleris seratus persen pleg dari lahir sampai mati. Tentu ada sedikit pengaruh diantara type-type kepribadian itu satu sama lain. Hanya kalo bicara mana yang paling dominan tentu saja bisa.

Baper bisa juga karena pengaruh kondisi, misalnya baru putus sama pacar, atau yang paling umum adalah ketika kondisi ekonomi lagi susah. Baru di PHK dari tempat kerja misalnya. Istilahnya jangan suka ganggu orang susah. Orang lagi susah itu gampang tersinggung. Orang ngomong apa, diterimanya apa. Orang ngobrolin pesta-pesta dia langsung ngenes. Ada yang pake mobil baru di ngelus dada. Ada yang punya bini muda dia nelangsa..hehehe.

Semua orang pasti pernah ngalamin yang namanya posisi dibawah. Posisi lagi jatuh ketimpa tangga. Biasanya saat-saat seperti ini gampang banget tuh yang namanya baper melanda. Diajak reunian malu. Diajak ketemuan takut. Kalo cuma khawatir gak bisa tampil keren doang sich gapapa tapi kadang kekhawatirannya bisa bererot beranak-pinak. Khawatir nanti dikasihani..Khawatir ini khawatir itu. Padahal masih banyak tuch teman yang tulus sayang sama kita. Gak melihat keren atau katronya kita dikondisi saat ini atau masa datang. Percaya deh. Saat nulis ini sayapun sangat pantas untuk Baper. Tapi saya memilih untuk tetap tegar. Tetap mengangkat wajah sambil berkata.. Inilah aku. Aku apa adanya…hehehe... Lebay!

15 Juli 2016

Dosen Penguji ; Membimbing atau Menerkam?

“Anda tidak harus mengalami sendiri suatu kejadian hanya agar menjadi bijak dalam merespon kejadian”. Kalimat ini pernah saya tulis sebagai status di facebook beberapa tahun lalu. Sudah lama jadi lupa kapan tepatnya. Misalnya ada orang kritis jatuh dari motor karena gak pake helm, saya jadi paham oh gunanya helm itu bukan agar gak ditilang om Jimmy Ronaz atau om Merdy Sam (Itu nama temen sekolah yang sekarang jadi Polisi)..begono…

Okay..kita langsung aja ya. Kali ini saya mau share tulisan Sangat bagus dari pengalaman Pak Rhenald Kasali, yang ditulis di Koran Sindo tanggal 15 Juli 2010, seorang Guru Besar di FE UI, praktisi manajemen dan penulis yang buku-bukunya hampir semua sudah saya baca karena suka..

Encouragement by Rhenald Kasali

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)

RHENALD KASALI Ketua Program MM UI

14 Juli 2016

Good Corporate Governance - Part 1

Jika selama ini saya menulis hal-hal ringan dan gak lucu seputar kuliner, dunia kerja, dan pengalaman merantau ke negeri orang (kapan-kapan nanti saya mau nulis tentang Mr.Johnny Greene si nyentrik ikon Tacoma), gak ada salahnya sesekali membahas yang agak serius.Tujuan sebenernya bukan untuk dibilang keren, No! sama sekali tidak. Kebetulan aja ini berbarengan dengan suatu acara di perguruan silat saya..hehehe.

Pertama yuk kita mulai dari pengertian Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan..selanjutnya biar gampang kita sebut saja GCG). GCG seperti dilansir Wikipedia adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.

Apa yang menjadi Prinsip dari GCG?

Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu korporat atau para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF. Penjabarannya sebagai berikut :

1. Transparency (keterbukaan informasi)

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

2. Accountability (akuntabilitas)

Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.

3. Responsibility (pertanggung jawaban)

Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.

4. Indepandency (kemandirian)

Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, prinsip ini menuntut bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.

5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain.

Nah itu dulu kali ya bahasan tentang GCG..jangan banyak-banyak nanti pucing pala berbi. Anggap saja ini warming up untuk tulisan berikutnya. Itupun kalo sempet. Maklum banyak gangguan. Gangguan apa? hehehe. Males!

RT (bukan Rukun Tetangga tapi Ripto. Inga Inga)

13 Juli 2016

Ustadz Mohammad Joban

Pertemuan dengan seorang Taxi driver sekitar bulan April 2001 memang sebuah kebetulan yang bagiku adalah rejeki. Saat itu ia sedang menikmati makan siangnya di salah satu meja foodcourt Tacoma Mal. Aku duduk persis didepannya, jadi bisa membaca dengan jelas nama yang tersemat di bajunya; Abdul Khadeer. Ha..sebuah nama muslim. Kulitnya gelap (yaiyalah wong dia afro american) dengan bentuk badan agak kekar, brewoknya sebagian memutih. Kami beradu tatap dan dia tersenyum menggangguk. Begitu ramah padahal belum kenal. Aku balas menggangguk, tersenyum dan langsung menyapanya “ Assalamualaikum..”… bola matanya membesar dan langsung menjawab “ Alaikum salam “.. Dan kami bersalaman.

Selanjutnya percakapan kami mengalir begitu saja. Aku merasakan kehangatan persaudaraan ketika ia bertanya negeri asalku. Dia menyebut Indonesia? ketika kujawab aku berasal dari negeri dengan populasi muslim terbesar didunia. Dia bertanya banyak hal, juga tentang dimana aku melakukan sholat jumat. Abdul Khadeer langsung menawarkan untuk mengantar ke Mesjid terdekat dari apartement dimana aku tinggal. Kami bertukar nomor hp dan berjanji untuk bertemu pada hari jumat berikutnya.

Masjid Bridgeport Tacoma

Hari jum’at sekitar pukul 10 pagi handphoneku berdering, Abdul Khadeer menepati janjinya dan dia dalam perjalanan menuju apartementku. Tadinya kupikir dia mengendarai taxinya. Ternyata dia membawa mobil sedan Ford yang cukup keren. Sambil bercanda dia bilang dia gak mau dibayar untuk jemputan kali ini. Hehehe

Perjalanan dari apartemen ke masjid tidak sampai 15 menit dan mesjid masih belum ramai. Masjid di jalan Bridgeport ini adalah sebuah bangunan biasa seperti rumah besar. Tidak nampak sama sekali kalau itu adalah masjid andai saja tidak ada papan bertuliskan Masjid dihalamannya. Sampai didalam masjid aku dikenalkan dengan jamaah yang sudah hadir sekitar 10 orang, mereka berasal dari wilayah Arab dan Timur Tengah. Aku diperkenalkan sebagai muslim asal Indonesia, mereka menatap dengan penuh kegembiraan dan mereka satu persatu menyalami dan memelukku..terus bilang “kami saudaramu disini..”. Obrolan tidak berlangsung lama karena jamaah sudah mulai berdatangan. Aku hanya sempat mengisi buku alamat para jamaah masjid lengkap dengan mobilephone. Saat perjalanan kembali ke apartementku Abdul Khadeer berjanji suatu saat akan mengantarku ke sebuah masjid dimana Orang Indonesia yang menjadi Imam (pemimpin) di masjid itu. Dia menyebut nama Imam Joban.

Pertemuan dengan Sang Imam.

Sedikit cerita tentang Imam Joban atau Ustadz Muhammad Joban. Beliau adalah pria kelahiran Purwakarta,2 Juni 1952, Tahun 1973 beliau ke Kairo. Tahun 1975 selesai Lc. Lalu kerja lima tahun di Kairo, jadi penyiar. Radio Kairo suara Indonesia. Dulu banyak pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke beliau. Didengar oleh muslim di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.Memang dari dulu beliau sudah bercita-cita untuk mempertemukan Timur dan Barat. Belajar di Timur baru kemudian di Barat.

Dahulu ketika Pak Amien Rais mengambil thesis dan meriset tentang Ikhwanul Muslimin di Kairo, dua tahun disitu dan Ustadz Joban sering ikut pengajian disana, beliau sering ketemu pak Amien. Pak Amien rais sering ke lapangan dan ketemu orang-orang ikhwan, setelah bertemu dengan Ust.Joban menyarankan supaya meneruskan ke Chicago. Maka beliau dulu ingin mengambil Ph.D di bidang Islamic Studies. Rencananya di Chicago. Sampai di Amerika ternyata kalau kita tidak punya greencard (izin tinggal permanent) maka biayanya besar. Tapi beliau ketika itu, karena visanya berlaku setahun, sebelumnya bekerja sebagai kepala biro penyiar di radio Kairo sehingga mudah dapat visa karena sebagai penyiar dan penerjemah. Beliau punya visa setahun. Visa turis. Ingin sekolah tak bisa karena biaya.

Alhamdulillah temannya orang Campa – Kamboja yang sama-sama studi di Azhar memberi address masjid di Olympia. Maka daripada beliau pulang, beliau memutuskan untuk mencari biaya sekaligus menghabiskan visanya selama setahun disini. Kebetulan di Olympia ini ada masjid, ada masyarakat, tapi tidak ada imam-nya. Disini banyak memang yang seperti ini. Masjid ini milik orang Campa, Kamboja. Orang Campa ini kebanyakan muslim. Nah ceritanya kenapa orang Campa ini banyak masuk Islam karena dulu raja Aceh kawin dengan putri Campa. Makanya di Kamboja ini ada istilah kampong Campa. Mereka ini dulu ketika escape dari Kamboja ini tergantung siapa sponsornya. Jadi ada yang ke Texas, ada yang ke California, Sebagai refugees. Waktu Ustadz Joban datang hanya ada lima families saja. Yang lainnya ada orang Arab, orang Malaysia. Jadi rupanya sudah lama mereka disini. Dari tahun 1979 –an begitu. Jadi sudah lupa mengaji, lupa macam-macam. Anaknya sudah dibesarkan dengan cara Amerika. Akhirnya beliau kumpulkan. Ibu-ibunya juga dikumpulkan. Maka alhamdulillah mereka teringat lagi dengan masa lalu. Maka masyarakat sana mengajak beliau untuk tinggal di Olympia.

Hari itu hari jumat yang kebetulan adalah hari pertama puasa Ramadhan. Dengan diantar Abdul Khadeer aku berangkat dari apartementku diTacoma ke Masjid di Olympia yang memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit. Sampailah kami pada sebuah daerah berpemandangan bagus. Sebuah bangunan besar 2 lantai berada seperti ditengah-tengah lapangan dikelilingi rumah-rumah yang belakangan aku tahu itu sebagai pemukiman muslim campa (Kamboja). Setelah mengucap salam aku melihat seorang laki-laki paruh baya, berperawakan agak tinggi, kulit sedikit gelap dan berjanggut. Beliau memeluk sambil mengucapkan senang bertemu dengan saudara muslim sebangsa. Ustad Muhammad Joban demikian akhirnya aku memanggil beliau.

Baru kali itu aku sholat dimasjid dengan muslim sebangsa hanya 2 orang, aku dengan Khatibnya. Ustadz Joban memberi ceramah jumatnya Isinya ceramah jumatnya mungkin biasa bagi orang lain, tentang dosa kepada kedua orang tua. tapi tidak untukku..aku larut dalam kalimat-kalimat yang disampaikan. Aku seperti diperlihatkan dosa-dosa yang telah kulakukan..dan seperti anak kecil, aku menangis. Pertama dalam hidup menangis saat khatib jumat memberikan ceramahnya…

Astagfirullah..ampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku…